A Story Of Friendship

Viona menutup pintu kamar mandi. Ia memutar badannya, lalu berjalan menuju tempat tidur yang berada beberapa langkah di hadapannya.
“kamu sudah bangun rupanya.” Ucap Viona kepada seorang gadis yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu diam, ia hanya tersenyum tipis.
“Tadi Mama kamu pulang, katanya mau ngambil baju ganti buat kamu.Ucap Viona sambil duduk di atas kursi yang berada di samping tempat tidur.
“Kamu lapar tidak? Kalau lapar, makan dulu,yuk!.” Ajak Viona mengambil semangkuk bubur yang berada di atas meja. Gadis itu masih diam, ia memandang sayu ke arah semangkuk bubur tadi, kemudian ia memandang Viona dengan lemas.
Viona menarik napas panjang. “Cuma makan ya, kalau habis makan kamu nggak mau minum obat juga tidak papa.” Ucap Viona memandang gadis di hadapannya dengan lekat. Gadis di hadapannya itu tak merespon.
“Ya sudah deh, kalau nggak mau.” Ucap Viona sambil mengembalikan semangkuk bubur tadi ke tempat semula.
“Kita jalan-jalan aja yuk,sambil refreshing gitu.” Ucap Viona mengajak gadis di hadapannya. Gadis itu menatap Viona dengan Lemas. Dua bola matanya seolah mengatakan sesuatu. Ia kemudian memandang ke arah kursi roda yang berada di sudut kamar ini, ia memandang kursi roda itu dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu kembali memandang Viona dengan pandangan seolah merasa sangat bersalah.
Viona menatap kedua bola mata gadis di hadapannya itu. “Saat kamu mulai jalan dengan tertatih, aku selalu siap buat memapah kamu. Dan disaat kamu harus duduk di kursi roda, aku juga akan selalu siap mengantar kamu kemanapun kamu ingin. Kamu masih merasa tidak nyaman bersama aku? Merasa ngrepotin? Apa dalam persahabatan itu ada rasa hutang budi? Buat aku, nggak akan pernah ada kata “ngrepotin” dalam persahabatan yang aku jalin sama sahabat-sahabat aku, termasuk kamu Ya.” Viona menelan ludahnya.
Mereka berdua diam. Diam beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Saling menatap kosong ke arah depan mereka.
“Apa masih ada hari lagi buat aku?” Tanya gadis tadi kepada Viona. “Apa masih ada hari buat kumpul bareng sahabat-sahabatku dan teman-temanku, buat ngebanggain Papa sama Mama. Buat terus sama kamu Vin?” Sambungnya.
“Tentu ada. Dan akan selalu ada.” Ucap Viona optimis, ia tersenyum manis pada gadis berwajah oriental tersebut.
“Apa masih ada Idul Fitri tahun depan? Apa kita masih bisa berangkat sholat bareng-bareng? Apa kita masih bisa ngajar anak-anak yang ngaji di Masjid?
“Gimana…” Gadis bermata sipit itu menelan ludahnya. “Gimana kalau aku pergi meninggalkan semuanya? Apa Allah akan mempertemukan kita kelak?”
Deggg!!! Mendengar pertanyaan gadis itu, seolah ada petir menghantam jantung dan badan Viona dengan sangat keras.
Viona membungkukkan kepalanya. Ia dekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Ia elus dahinya dengan lembut.
“Aku atau kamu yang pergi, kita akan bertemu kelak.” Ucap Viona lembut.
“Apa mungkin, Allah akan mempertemukan kita berdua?”
“Vica.Allah maha mengetahui apa yang kau pikirkan sekarang,kita akan bertemu kelak
Gadis yang dipanggil “Vica” tadi mengangkat tubuhnya, mencoba untuk duduk. Ia menutup matanya. Setetes air bening mengalir dari balik kelopak matanya yang tertutup.
“Hei, jangan nangis dong. Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah nangis gara-gara penyakit kamu, itu artinya, kamu membiarkan kamu kalah oleh penyakit ini.” Viona mengusap kedua pipi Vicadengan lembut dan penuh kasih sayang, menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya.
Vica terdiam, mencoba mengatur napasnya. Mencoba untuk tidak menangis di hadapan sahabatnya. Ia memandang kosong ke arah obat-obatan dan infuse yang masih menempel di tanganya
Viona memandang Vica dengan perasaan perih. Seolah ia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan dan dipikirkan Vica.
“Vic. Kalau kamu benar-benar tidak kuat, nangis saja! Tidak papa kok kalau kamu mau nangis.”
Vica memejamkan matanya. Tangisnya pecah. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tanpa berpikir, Viona segera memeluk gadis bermata sipit itu.
“Nangis yang puas, kalau itu bisa membuat kamu lega dan tenang.” Ucap Viona mencoba menahan air matanya yang telah memenuhi kelopak matanya agar tak terjatuh membasahi pipinya.
“A.. A… Ku, say..sayang kamu. Kenapa sih saat orang kaya kamu datang di kehidupan aku, justru aku yang akan pergi dari kehidupan kamu?” Vica tak sanggup mengontrol emosi jiwanya. Air matanya menetes membasahi bagian belakang jilbab putih yang Viona kenakan.
“Aku juga sayang sama kamu. Kalau penebusan dosa itu ada, kamu nggak perlu khawatir. Karena aku yakin Allah akan membiarkan kamu masuk ke dalam surga-Nya. Dan meskipun kita nggak bisa ketemu lagi. Aku yakin kamu tidak akan merasa sedih, dan mungkin kamu sudah lupa sama aku. Karena di surga itu hanya ada kebahagiaan dan kedamaian . Dan kamu akan terus merasa bahagia saat kamu berada di sana, meskipun sekarang kamu merasa takut dan sedih kalau kita nggak bisa ketemu lagi, tapi di surga nanti, kamu akan melupakan kesedihan itu.” Ucap Viona sambil mengusap air matanya yang telah berhasil membasahi kedua pipinya.
“Tenanglah dan damailah disana Vica..doakku akan selalu menyertaimu sepanjang waktu”Ucap Viona didalam hati
 

0 comments:

Posting Komentar