Tidak biasanya Ayah mengumpulkan semua anggota keluarga, sepertinya ada hal penting yang akan dibicarakan. Apakah nilai UTSku kemarin yang menurun? Apa rencana liburan? Aah, aku pusing jadinya. Sebaiknya aku segera pergi ke ruang keluarga, sepertinya mereka sudah berkumpul.
“Ayo kemari, Yoo Ra,” sapa Ayah.
Aku duduk dengan perasaan yang tidak
nyaman, Tesa adikku memperhatikanku dengan mengerutkan dahi, serius sekali. Ayah mulai memulai diskusi seperti biasa,
diluar dugaanku. Aku mengira ini tentang nilai UTSku ternyata salah besar,
lebih tepatnya kami akan pindah rumah.
“Bagaimana, semua setuju? Yoo Ra dan
Yoo Na juga akan pindah sekolah,”
“Kami setuju, iya kan?” tanyaku pada
adikku yang sedari tadi diam.
Yoo Na mengangguk,” Tapi, kita masih
tetap bisa bertemu teman disini kan?” tanyanya.
“Tentu saja, kalian bisa berkunjung
kemari setiap liburan,” jawab Ibu.
“Ayah ikut senang kalian bisa
menghargai keputusan Ayah,” ujar Ayah sembari mengelus rambut kami berdua.
Sore ini saatnya beres beres rumah,
yang tampak di sana- sini cuman kardus coklat yang berisikan barang- barang
yang akan dibawa. Jauh- jauh hari, ayah sudah menyewa mobil back up untuk
membawa lemari, kulkas, sepeda, rak buku dan piring.
“Fyuh, cape sekali. Ternyata barang
barangku banyak juga,” gumamku.
“Kalo sudah selesai, kalian bisa
pergi tidur. Ingat besok kita pindah,” seru Ayah dari lantai bawah.
“Oke,” jawabku tak kalah seru.
***
Sinar matahari yang
terik menaunggi seluruh kota Tegal. Gadis kecil berambut sedikit coklat itu
mengayuh sepedanya sekuat tenaga, nafasnya yang kembang kempis mengiringi
setiap kayuhannya, keringatnya menetes sedikit demi sedikit ke tanah yang
tandus. Di depannya terlihat belokan gang kecil “ mungkin saja itu rumahnya,”pikirku. Ia berbelok dengan lihainya dan
memarkirkan sepedanya di depan rumahnya. Kupasang kupingku tajam tajam, ku
tengok perlahan dari balik tembok bercat kuning sebelah rumahnya, terdengar
percakapan,
“Assalamualaikum,
saya mau mengambil tebu budhe,”
ucapnya pada seorang ibu tua yang di panggil budhe tersebut.
“Mengambil tebu? Untuk apa? Jadi ini bukan
rumahnya?”ucapku dalam hati.
Gadis
itu mengambil tebu mentah yang terletak di sebelah kandang ayam si pemilik
rumah,
“jorok sekali,”gidikku.
“Pulang
dulu budhe, Wassalamualaikum,”
Sedari
tadi aku tidak memperhatikan di sekitarku, banyak anak kecil yang heran dengan
perilakuku tadi,”Kenapa tadi aku lupa
memakai masker? Oh tidak, nanti aku malah dikira psikopat yang sedang mengintai
korban, jubah transparan? Itukan alat doraemon. Uuh, otakku buntu!”
“Oh,
tidak aku ketinggalan jejaknya. Ah sial, kenapa tadi aku memikirkannya terlebih
dahulu?”sesal ku
Aku
menyusuri jejaknya lebih mudah, dia memakai sepeda dan tanah yang dilindasinya
tadi tanah bekas air. Huh, syukurlah. Aku dehidrasi, kutengok kanan kiriku di
seberang jalan sana ada warung, mungkin aku bisa mampir sebentar. Mending tidak
mendapat jejak gadis itu, daripada dehidrasi karena kehausan.
“Air
putih satu, mbak,” ujarku sembari
menyodorkan uang.
Krek,
kubuka air minum yang kubeli dengan sekuat tenaga. Biasanya gampang sekali
membukanya, kenapa jadi susah sekali? Oh aku lupa, aku capai sekali. Tanpa
sengaja aku menemukan selembar kertas yang menempel di tiang listrik di samping
warung, ku tarik sampai lepas dan membacanya perlahan,”Akan diadakan CEMBENG untuk warga di sekitar industri tebu,”
Tanpa pikir
panjang, aku menanyakannya kepada mbak-mbak
penjaga warung,”Mbak cembeng itu
apa ya?” tanyaku sembari menyodorkan selembaran tadi.
“Cembeng
itu musim giling tebu, nok,”jawabnya
dengan ramah.
“Giling tebu? Jadi anak tadi..,” ucapanku terhenti ketika melihat
seorang anak kecil tadi berjalan melewati warung tadi. Dia pergi berbelok ke
kebun tebu di sebelah sana, aku bergegas turun dari bangku panjang yang
kududuki dan berlari secepat mungkin.
“Jalannya
cepat sekali sih,” keluhku.
Anak
itu menemui seorang bapak tua berkumis hitam, di kepalanya ada topi yang biasa
di pakai petani,”mungkin itu bapaknya
atau kakeknya,” tebakku.
Bapak
itu tampak panik dan sepertinya akan pulang dari kebun tebu yang sedari tadi
diurusnya, ia menarik pergelangan tangan gadis itu dan berjalan secepat
mungkin.
“Aduh,
ada apa sih? Kok panik sekali?”
Aku
mulai berjalan mengikuti Bapak dan Gadis itu pergi. Tiba- tiba Bapak itu
menoleh kebelakang dan aku belum sempat bersembunyi, bapak itu dengan wajah
yang sulit dijelaskan bagiku mulai berjalan mendekatiku.
“Apa
yang sedari tadi kau lakukan nak?” tanyanya dengan suara berat.
“Uuh,
maaf pak, saya hanya ingin tahu apa yang dilakukan bapak,” jawabku sembari mengaruk
rambut yang sebenarnya tidak gatal.
Gadis
itu mulai menghampiriku,“Apa urusanmu?” tanya ketus.
Wajahnya
yang cantik dan terlihat ramah itu ternyata hanya sampul luarnya saja. Aku
tidak menyangka dia seketus itu.
“Kita
belum berkenalan, namaku Yoo Ra,” aku menjulurkan tangan.
Gadis
itu tampak acuh dan tidak menerima jabatan tanganku, dia malah berbalik badan
dan menarik tangan Bapak tua itu dengan lembut dan berjalan menjauhiku. Aku
mengejarnya sebelum lebih jauh lagi, berteriak pun percuma, mereka tidak mau
berhenti. Aku mendahului mereka dan berhenti tepat dihadapan mereka.
“Mau
kamu apa sih? Kamu tidak ada urusan disini!” ucap Gadis itu tampak marah.
“Tolong
nak, kami ada urusan yang sangat penting. Jika kamu ingin ikut, ikutlah,”
“Baik,
saya akan ikut,” jawabku.
Kami
berjalan cukup jauh, mungkin ini sudah 5 jam. Aku sangat lapar dan juga haus,
aku menyesal mengikuti mereka, sebenarnya mereka mau kemana?.
Kepalaku
berdenyut- denyut, semuanya terlihat kabur dan gelap..
***
Mentari
yang silau menerobos celah kecil jendela kamarku, aku mengerjap-ngerjapkan
mata dan dengan malas. Aku segera
bangkit dari tempat tidur.Aku membuka jendela kamar,agar udara sejuk masuk.
“Mimpi tadi membuat
kepalaku pusing,” ucapku sambil bertopang dagu dijendela kamar.Semilir angin
menyapaku dengan lembut. Aku segera beranjak dari jendela dan melihat jam. Aku
terlonjak kaget melihat angka 06.00 di jam kamarku,aku langsung menyambar
handuk,lalu byur-byur,mandi. Dan sekarang aku sudah di depan cermin dengan
badan segar. Aku menyisir rambut yang panjang, wangi semerbak shampo masih
sangat tercium. Oh, aku hampir lupa. Hari ini aku pindah rumah.
“Pagi, Yoo Ra dan Yoo
Na,” sapa Ibu sembari mencium pipiku dan adikku.
Aku tersenyum dan menengok
ke kanan dan kiri,”Dimana Ayah?”
“Ayah sedang
mengirimkan barang barang kita ke rumah baru, daerahnya ada di Tegal,” jawab
Ibu seraya menuangkan susu untuk Yoo Na.
“Tegal? Kata Bu Guru di
sekolahku, Tegal itu ada upacara Cembeng. Penggilingan Tebu yang katanya sih bisa
memakan korban,” jelas Yoo Na.
“Memakan korban? Jadi,
ada yang meninggal gitu?” gidikku ngeri.
“Bisa juga kecelakaan
kak, pokoknya bermacam- macam,” tambahnya.
Aku berpikir sejenak,”Dimimpiku, persis seperti yang dijelaskan
Yoo Na. Tapi, apa Gadis dan Bapak itu terburu- buru karena ada salah satu
keluarga mereka meninggal karena datangnya musim cembeng?”
“Ayo, cepat habiskan.
Kok malah bengong,” seru Ibu menguncang bahuku dengan lembut.
“Kakak memikirkan
ucapanku tadi ya?” canda Yoo Na.
Aku tersenyum dan
kemudian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan.
“Yoo Ra, cepat! Ayah
sudah datang!” seru Ibu dari luar rumah.
Kukeringkan tanganku
dengan handuk dan segera berlari keluar rumah dengan tenang, aku tidak akan
melupakan kenangan- kenangan terindah di rumah ini.
***
“Wuah,
besar sekali rumahnya, Ayah,” seru Yoo Na ketika kami sampai.
“Terimakasih
Ayah, Ibu. Yoo Ra sayang kalian,” ucapku sembari mememeluk mereka berdua.
“Ibu
dan Ayah ikut senang, yuk kita masuk!” ajak Ibu.
Kreek..
pintu gerbang dibuka, langkah kaki pertama di rumah baru sungguh berbeda.
Karena, sebelumnya kami belum pernah pindah rumah. Membayangkan rumah baru
disini pun sudah senang, apalagi sekolah baru? Uuh, Komplit sekali rasanya.
“Dimana
kamarku, bu?” tanyaku.
“Kamarmu
di lantai dua, seperti biasa. Yang berbeda adalah disamping kamarmu ada balkon,
kalian berdua bisa melihat suasana rumah dari atas sana,” jelas Ibu.
“Kalian
berdua? Jadi kami sekamar?” tanya Yoo Na.
Ibu
mengangguk,”Tentu saja,”
“Ayo
kak, kita beres- beres dikamar,” Yoo Na menarik tanganku.
Kriet..
“Wow,
kamar yang besar untuk kita berdua! Dimana balkonnya? Wow, disini kak,” seru
Yoo Na seraya membuka pintu balkon.
“Kita
beres beres dulu, yuk!” ajakku pada Yoo Na yang sedari tadi heboh sendiri.
Aku
menaruh pakaian- pakaian ku di lemari, dan boneka teddy bear di samping bantal
tidur. Setelah itu, membereskan buku- buku sekolah di meja belajar.
“Kak,
sudah belum? Makan malam sudah siap!” seru Yoo Na dari lantai bawah.
“Oke!”
jawabku.
Aku
segera turun dari lantai atas menuju lantai bawah dengan cepat. Ibu menaruh
nasi di setiap piring yang sudah disediakannya. Aku menarik kursi dan kemudian
duduk.
“Nah,
Yoo Ra dan Yoo Na. Besok kalian sekolah, nanti Ayah yang mengantar kalian
berdua. Semoga kalian suka dengan sekolah baru kalian ya,” ucap Ayah.
“Tentu,
yah,” seruku bersama Yoo Na.
Makan
malam sudah selesai. Jam menunjukkan pukul 20.30 WIB, saatnya untuk mematikan
lampu dan pergi ke pulau kapuk. Pulau Kapuk, Aku datang!
***
“Selamat
bersekolah!” seru Ayah lewat kaca mobil.
Aku
dan Yoo Na melambaikan tangan kepada Ayah dan kemudian masuk kedalam sekolah.
Kami berpisah di belokan antara kelas 5 dan 3.
“Dah,
kak!” serunya.
Aku
mengangguk dan berjalan menuju ruang kelas 6A, aku masuk dengan canggung.
Rambutku yang terikat karet, kugerai sehingga menutupi sebagian mukaku. Aku
duduk di bangku yang kosong. Dan diam, mungkin Yoo Na sudah mendapat teman
baru. Dia lebih mudah bergaul daripada aku, kakaknya.
“Hai,
namaku Gendis,” seorang anak perempuan mengulurkan tangannya padaku. Aku yang
sedari tadi menunduk mengangkat wajah dan melihat muka anak itu.
“Oh, dia yang ada dimimpiku. Benar! Dia orangnya!”
seruku didalam hati.
Aku
menatapnya lama sekali, sampai lupa membalas jabatan tangannya.
“Kenapa
kamu menatapku seperti itu? Ada yang salah dariku?”
“Oh,
tidak sopannya diriku, kenalkan namaku Yoo Ra,” ucapku sembari mengulurkan
tanganku.
“Anak
baru kan? Tinggal dimana?” tanyanya sembari menarik kursi disampingku untuk dia
duduki.
“Iya,
tinggal di Jalan Tebu no. 23. Kamu?”
“Aku
tetanggamu, nomor rumahku 24,” ujarnya ramah.
“Bagaimana
kalau pulang sekolah kita bermain? Uuh, senangnya sudah dapat teman baru,”
seruku gembira.
“Oke,” jawabnya
***
“Gendis.. Gendis..,” panggilku di
luar rumah Gendis.
Gendis
keluar dengan senyum manisnya, dia mengajakku kelapangan RT. Dia tidak memberi
tahu tujuan kami kesana.
“Ramai
sekali, dis,” seruku pada Gendis.
“Kan
musim giling tebu semakin dekat,” jawabnya enteng.
“Giling
tebu akan memakan korban, kan?” gidikku.
Gendis
tersenyum,”Tidak, jika sebelumnya diadakan upacara meminta izin kepada Dewa
Dantin,”
“Dewa
Dantin itu siapa?” tanyaku.
“Dewa
Tebu, Kita harus meminta izin melakukan pengilingan tebu untuk menghindari
adanya korban. Masyarakat percaya dengan cara 2 boneka yang didandani layaknya
pengantin diarak keliling, pekerja ataupun masyarakat tidak mendapat sial
setelah itu” jelas Gendis.
Aku
mengangguk- angguk tanda mengerti, dan kemudian bertanya,”Memangnya apa
pengaruhnya?”
“Aku
sendiri sih tidak tahu, Pola pikir masyarakat berbeda- beda. Dan setiap akan
perayaan Cembeng sekolah diliburkan beberapa hari,”
“Sayang
sekali, aku lupa mengajak Yoo Na. Pasti dia senang diajak kemari,” gumamku.
“Yoo
Na itu siapa? Namanya hampir persis namamu,” tanya Gendis.
“Dia
adikku,” jawabku.
“Besok
mau tidak ikut aku ke kebun Tebu? Besok kita libur lho,” ajak Gendis.
“Mau,
boleh tidak aku ajak adikku?”
“Makin
ramai, makin seru,” seru Gendis.
***
Malam
harinya aku bercerita kepada Yoo Na tentang apa yang Gendis ceritakan kepadaku.
Ucapan Yoo Na hari lalu ternyata ada betulnya juga. Yoo Na bahkan ingin sekali
cepat pagi, dia tidak sabar pergi ke kebun Tebu bersama Gendis.
“Kak,
ke balkon yuk! Disini gerah,”ajak Yoo Na sembari menarik tanganku.
“Kita
sudah pake AC, masa gerah sih?” ucapku.
“AC
kita kan lagi diperbaiki, Kakak lupa ya?”
Aku
nyengir kuda, aku menuruti keinginan Yoo Na pergi ke balkon kamar. Jarang-
jarang malam- malam begini kami buka pintu balkon. Biasanya dia takut jika ada
yang tiba- tiba pengintip lewat pintu balkon. Mungkin waktu itu ia sedang
Paranoid.
Angin
malam berhembus dengan lembut membelai dagu, bahu dan rambutku. Aku tampak begitu
damai menikmati malam nan sunyi ini.
“Door!
Belum pada tidur?”
Suara
Ibu membuat aku dan Yoo Na terkejut.
“Ibu
bikin kaget saja,” seruku.
“Tidur,
ini sudah jam 9 nanti kalian kesiangan ke kebun Tebunya loh,”
Aku
menepuk dahi, cepat- cepat aku dan Yoo Na beranjak ke kamar tidur dan terlelap.
***
Pagi
jam 9, kami bertiga sudah berada di kebun tebu milik Paman Gendis.
“Paman kita kan belum
berkenalan kan? Kenalkan namaku Yoo Ra dan ini adikku Yoo Na,” aku dan Tesa
mengulurkan tangan.
“Nama
Paman Zafran, senang bisa berkenalan dengan kalian,” ujar Paman Zafran.
“Kalian
dari Korea ya? Nama kalian terdengar seperti dari negeri Ginseng itu,”
tambahnya.
“Betul
Paman, Ibu kami orang Indonesia dan Ayah kami orang Korea. Kami sekeluarga
biasanya tinggal di Indonesia hanya sebentar dan kembali lagi ke Korea. Tapi,
kali ini kami mungkin akan menetap disini,” jelasku.
Paman
Zafran mengangguk- angguk tanda mengerti.
Beliau sangat ramah pada kami. Beliau
mengajarkan cara panen tebu yang benar, menanam tebu dan merawat tebu dengan
baik.
“Begini
paman?” tanya Yoo Na memegang tanaman tebu yang akan ditanamnya.
“Iya,
setelah itu gali tanah dengan sekop ini,” ujar Paman sambil mengambilkan sekop
untuknya.
“Whua!
Apa itu?” gidik Gendis.
Paman
Zafran yang sedang mengajari Yoo Na, ikut terkejut,”Ada apa, dis?”
“Bekicot
mengejutkanku Paman,” cengir Gendis.
Aku
tertawa melihat tingkah konyol Gendis. Begitu juga Yoo Na.
“Dis,
kapan diadakan Cembeng itu?” tanyaku.
“Dua
hari lagi, kamu datang ya,”
Aku
mengangguk, kakiku pegal sedari tadi. Aku meminta izin pada Paman Zafran untuk
beristirahat di gubuk dekat sawah, untungnya aku membawa camilan kesukaanku dan
Yoo Na agar tidak merepotkan Gendis untuk menyiapkan makanan untukku dan
adikku.
“Yoo
Ra dan Yoo Na baru pindahan rumah, kan?” tanya Paman Zafran sembari membuatkan
minuman untuk kami.
Yoo
Na mengangguk sambil memasukkan makanan kedalam mulutnya, porsi makannya yang
banyak membuat pipinya yang gembil bertambah gendut.
“Biasanya
pas upacara Cembeng, ada apa aja sih?” tanyaku.
“Ada
dua boneka yang diarak namanya Gembong Wuluh dan Siti Barokah,” jawab Paman
Zafan yang masih mengurusi tebu.
“Yang
itu kamu belum menceritakannya padaku,” ujarku.
“Aku
kan belum tahu luasnya,” jawab Yoo Na sekenanya.
***
“Bangun, bangun. Hari
ini hari perayaannya kak,” seru Yoo Na di ambang pintu kamar.
Aku
mengerjap- erjapkan mata yang masih ingin terpejam. Aku menyesal kenapa tadi
malam aku menonton film sampai larut malam.
“Aku
udah wangi, masa kakak belum sih,” Yoo Na menyeret selimutku dan menarikku
untuk turun dari pulau kapuk.
Aku
mengambil handuk dengan malas, membuka pintu kamar mandi dan mulai menyiram air
dingin keseluruh badanku. Dan sekarang aku sedang menyisir rambutku dan memakai
baju terbaik. Dan kemudian sarapan.
“Ayo,
kak!” Yoo Na menarik tanganku yang masih memegang sendok makan.
“Tesa,
tunggu kakakmu sebentar. Ibu buatkan susu, ya?” bujuk Ibu pada Yoo Na.
Ia mengangguk
dan mulai menarik kursi untuk duduk di sampingku.
“Sudah,
ayo kita berangkat. Kami pamit ya, bu,” pamitku pada Ibu.
“Hati-
hati ya,”
Kami
berdua akan pergi kerumah Gendis. Semoga saja Gendis masih menungguiku
dirumahnya. Setelah sampai di depan rumahnya, Gendis tampak sudah memakai baju
yang rapi. Dan kami pun berangkat ke lapangan RT.
***
Yoo
Na menengak- nengok kanan dan kiri, dia heboh melihat tandu yang akan digunakan
untuk mengarak Gembong Wuluh dan Siti Barokah.
Tampaknya,
masyarakat di sekitar industri tebu masih melakukan persiapan mulai dari alat
penggiling sampai tebu- tebu yang siap digiling. Di tandu arak- arakan juga ada
beberapa batang tebu yang sudah diberi nama sesuai nama pemiliknya.
“Setelah
diarak, boneka itu untukku boleh tidak?” tanya Yoo Na polos.
Gendis
tertawa,”Tentu saja tidak, setelah diarak boneka itu akan digiling bersama
tebu- tebu itu,”
“Gendis ini tampak sangat berbeda dengan
Gendis di mimpiku, dia ketus sedangkan Gendis ini ramah. Dan bapak itu seperti
Paman Zafran,” gumamku lirih.
“Yah,
ga bisa buat nambah koleksi bonekaku dong.” sesalnya.
“Bonekamu
tuh banyak banget, ngapain ditambahin lagi,” ledekku.
“Hai,
lihat sudah mulai. Ayo kita ikuti, kalian bawa air kan?” seru Gendis.
Kami
bertiga mulai berjalan beriring- iringan, penari endel pun ikut serta dalam
upacara ini. Yoo Na tampaknya kelelahan, dia meminum airnya terus- menerusnya.
Aku sampai memberikan air minumku padanya.
Tampaknya
arak-arakan boneka sudah selesai, para Bapak-bapak tampak menurunkan tebu di
tandu arak- arakan tadi untuk digiling. Mereka juga mengambil bonekanya.
Upacara mengilingan tebu di laksanakan di pabrik gula. Aku, Yoo Na dan Gendis
ikut masuk kedalam pabrik, tidak lupa membawa handphone untuk mengabadikan
moment yang jarang- jarang dilakukan di daerah lain. Bau pabrik ini sangat
manis sekali, menyengat. Tapi, bau ini tidak menyurutkan semangat kami untuk
masuk menyaksikan digilingnya tebu bersama boneka Gembong Wuluh dan Siti
Barokah.
Satu..
dua.. tiga..
Dan,
krek.. bapak tua mengiling tebu itu bersama boneka dengan sekuat tenaga, di
bawahnya tampak butiran- butiran gula keluar dari tebu yang digiling.
Betapa
banyaknya nilai kekeluargaan yang ada pada Upacara Cembeng ini, tidak hanya
itu, nilai mistik terhadap kepercayaan masyarakat kepada Dewa Dantin pun masih
sangat mencolok. Tapi, kita harus tetap menghargai kebudayaan di daerah daerah
tertentu.
0 comments:
Posting Komentar