Maaf, Lydia



Aku mengamati awan sore hari ini, segumpalan awan besar menyelimuti langit siang yang panas. Sore ini aku sedang rajin menyiram tanaman, terutama bunga tulip yang kubeli sewaktu lomba lari di Belanda. Sebentar lagi bunga itu mekar, aku juga sengaja membeli pot bunga khusus untuk menanam tulipku disana. Aku tahu sebentar lagi hujan lebat pasti akan datang, tapi apa yang harus kulakukan sore ini? Apa berlari- lari lagi? Aku sudah melakukannya 10 kali tadi. Jika ada teman, aku tentu tidak akan kesepian seperti ini, sebenarnya aku punya adik tapi waktu itu..
***
            “Kak, ayo kita main,” ajak Lydia, adikku.       
            “Main? Apa kamu tidak takut di ejek? Kamu kelihatan sangat tua seperti nenek- nenek tau!” gerutuku.
            Tanpa menjawab, Lydia langsung berlari meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Aku sebenarnya tidak tahu apa penyakit Lydia, aku malas bertanya pada Ayah ataupun Ibu, aku juga tidak peduli dengannya. Kehadirannya membuatku sedikit tersisihkan dari keluargaku.
            Suatu hari, teman- temanku berkunjung kerumahku untuk membuat pekerjaan kelompok. Sesampainya di rumahku, mereka melihat Lydia sedang menyirami bunga. Tanpa basa- basi mereka menjerit ketakutan, mereka mengira Lydia adalah hantu. Sejak kejadian itu, teman- temanku tidak pernah pergi belajar bersama atau sekedar bermain. Saking marahnya aku langsung menghampiri Lydia dan menyeretnya masuk kedalam rumah.
            “Kenapa sih kamu menyiram tanaman segala?” semprotku.
            Lydia menundukkan kepalanya dan ia menangis sesengukan.
            “Kamu tahu? Sekarang aku tidak punya teman sama sekali, mereka menjauhiku entah apa alasannya!”
            “Hentikan Audy! Lydia sama sekali tidak bersalah!” cegah Ibu.
            “Kenapa sih Ibu selalu membela nenek tua ini?” seruku.
            Uh, aku sangat kesal. Aku segera masuk kamar dan merapatkan pintu.
***
             Siang yang panas di musim hujan, aku tidak tau kenapa hujan tidak kunjung datang padahal ini sudah waktunya ia berkunjung ke bumi. Tanah semakin gersang saja, apalagi bunga tulipku hampir mati kepanasan, padahal sudah kusirami setiap sore.
            Saat aku keluar kamar, aku mendengar isakan Ibu di kamar.
            “Kenapa hal ini terjadi pada Lydia, yah?” isak Ibu.
            “Ini yang terbaik bu, Lydia akan segera meninggalkan kita,” jawab Ayah.
            Deg! Jadi, Lydia akan meninggal? Kenapa? Apa sebenarnya penyakit yang Lydia derita?
            “Kenapa hal itu terjadi yah?”
            “Lydia semakin hari akan semakin menderita,dia akan mengalami penuaan lebih cepat dari manusia normal, diusianya yang 10 tahun ini. Dia akan seperti orang berusia 80 tahun,”
            “Apa hanya harus menunggu waktu?”
            “Kemungkinan begitu, Ayah sudah bicara kepada Dokter. Tapi, dokter tidak bisa membantu lebih, semua urusan di serahkan kepada Tuhan,”
            Mendengar itu semua, aku merasa sangat bersalah pada Lydia. Aku langsung menghampirinya dan memeluk tubuhnya dengan air mata yang mulai mengalir.
            “Kakak kenapa? Apa ada yang melukai kakak?” tanyanya tulus.
            “Maafkan aku, aku sangat sayang padamu. Maaf atas semua perlakuanku,”
            “Aku sudah memaafkan kakak kok, kakak pasti senang sebentar lagi aku akan pergi. Jadi, teman kakak bisa main di sini tanpa ketakutan,”
            “Tidak, aku tidak mau kamu pergi, Lyd,” isakku.
            Dia memelukku dan dia tidak sadar diri seketika. Dan kini aku tahu, Lidya menungguku untuk mengucapkan kata maaf kepadanya sebelum ia pergi.
***
            Jika seperti ini akhirnya, aku sangat menyesal karena dulu tidak suka kepadanya. Sekarang aku akan membuat Lidya senang dengan Impianku, aku ingin dia melihatku dengan bangga di atas sana.
            Dong dong dong !!
            Bunyi jam besar milik kakek mengejutkanku dari pikiran- pikiran yang baru saja menghantuiku, aku tidak suka bunyi jam kakek. Berisik sekali, jika tengah malam aku tidak bisa tidur, jam kakek setiap tengah malam berdentang 12 kali dan bunyinya selalu terngiang di telingaku, karena itu aku suka terlambat ke sekolah gara- gara tidak bisa tidur nyenyak. Waktu itu aku sudah bicara dengan kakek masalah jam dongdong kesayangannya,
            “Jam itu sangat berarti bagi kakek, jika kamu mempunyai satu hal yang berarti bagimu, apa kamu akan membuangnya begitu saja?” jawab kakek sewaktu itu.
            Sama seperti Lydia..
            Mungkin kakek benar, aku selalu saja mementingkan diriku sendiri daripada orang lain. Ah, aku jadi merasa bersalah pada kakek. Tapi, sudah terlambat, kakek sudah pergi bersama Lydia, ia sudah bahagia disana. Uh, aku belum minta maaf pada kakek. Apa kakek akan bicara kepada Tuhan tentang sifat- sifat burukku? Jika iya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi, kakek kan tidak sejahat yang dipikiranku, Tuhan juga maha pemaaf. Aku sudah melakukan kesalahan terbesar 2 kali.
            “Hai, kapan kamu akan berangkat ke kamar mandi?”
            Aku menengok ke belakang, hah! Ternyata Marisha, kenapa dia ada disini?
            “Lho, kok kamu disini sih? Tidak ketuk pintu lagi,” gerutuku.
            “Ini kan sudah jam setengah tujuh, dan pintu kamarmu tidak tertutup tadi,”
            Aku hanya meringis dan menyambar handuk yang ada di dekat kamar mandi dan Byur Byur Byur, selesai. Haha, aku tidak mandi bebek kok, tentu saja aku mandi Angsa!
            “Maaf, aku lupa kita harus sekolah,” seruku.
            “Sekolah? Ini minggu dan kita akan lari pagi. Apa kau lupa dengan janjimu di messenger tadi malam ?” tanyanya tanpa melirikku.
            “Aku sungguh lupa, bagaimana jika kita berjalan ke toko buku?” sesalku.
            “Oke, tapi kita harus ke toko buku naik sepeda, oke?” tantang Audy.
            “What? Baiklah ini karena kesalahanku,” jawabku pasrah.
            “Marisha! Bagaimana kalau berlari saja?” tawarku.
            “Ah, kamu mentang mentang sebentar lagi jadi atlet,”cibirnya.
            “Siapa yang menang duluan, dapat buku terbitan baru dan gratis ya,” serunya di ujung jalan.
            Wah, dia main curang. Aku harus mengejarnya, ini awal dari lomba yang sebenarnya. Yey! Aku berhasil mendahului nya, tinggal melewati tikungan itu dan aku menang. Tidak sabarnya aku melihat Audy mengeluarkan uang untuk buku terbitan baru itu untukku.
            Cittt.. Bruk!
            “Audy! Bangun, bertahanlah,” remang- remang aku mendengar suara Marisha dan kemudian semuanya gelap.
***
            Matahari sore yang indah ku habiskan bersama Lydia. Entah berapa lama kami tenggelam dalam kesunyian.
            “Kenapa ya, suara- suara dentuman keras itu selalu menghantuiku akhir- akhir ini,” ucapku menoleh kepada Lydia.
            “Benarkah?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan.
            “Apa yang akan kakak lakukan?” Lydia mengulangi pertanyaannya.
            “Sejujurnya aku belum tahu,” jawabku.
            “Kakak pergi saja dari sini, impian kakak masih panjang,”
            “Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukankah kita akan selalu bersama?” tanyaku.
            “Tidak kak, aku baik- baik saja tinggal disini, lihat aku sudah sehat seperti sebelum dilahirkan di dunia,”
            Aku menatap matahari yang sebentar lagi akan menghilang dari ufuk barat. Tiba- tiba seorang Kakek tua muncul. Tapi, aku merasa kenal sekali dengannya, siapa ya?
            “Audy, Kakek kangen sekali dengan kamu,” seru Kakek dan kemudian ia memelukku dengan erat.
            “Kakek, maafkan aku tentang jam dongdong,” aku mulai terisak di pelukan Kakek.
            “Kakek sudah memaafkanmu, dan sekarang pergilah,” Kakek mulai melepaskan pelukannya.
            “Aku tidak tahu tempat apa ini, aku ingin tinggal bersama kalian. A ..kk..u kesepian,” isakku.
            “Ini jalan terbaik kak, aku hanya ingin kakak meninggalkan tempat ini secepatnya,” Lydia mulai mencengkram tanganku.
            “Ayo, kakek antar kamu pergi dari sini,”
“Kak, setelah kakak sampai sana, jangan menoleh ke kearah kami!” seru Lydia
 “Aku mengerti, tapi apa aku bisa bertemu kalian lagi?” sahutku.
Tak ada jawaban.  Aku mengulangi pertanyaanku namun masih tak ada jawaban, aku bermaksud menoleh Tubuhku tertarik oleh tarikan yang sangat kuat. Akupun masuk ke dalamnya dengan kecepatan yang sama sekali tak bisa kubayangkan.
Dalam kegelapan itu, perlahan aku merasakan sesuatu yang lain.  Tubuhku terasa agak berat, begitu pula napasku. Kegelapan yang menyelimutiku perlahan memudar, telingaku menangkap suara-suara yang beberapa diantaranya terdengar asing.
“Dok!  Dia sudah siuman!”
Aku mengerjap- ngerjapkan mata perlahan- lahan, cahaya dari jendela membuatku semakin sulit membuka mata dengan sempurna. Kepalaku terasa pusing sekali, kejadian tadi seperti berputar- putar di otakku.
“Kakak pergi saja dari sini, impian kakak masih panjang,”
            “Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukankah kita akan selalu bersama?”
            “Tidak kak, aku baik- baik saja tinggal disini, lihat aku sudah sehat seperti sebelum dilahirkan di dunia,”
“Lydia,” aku mencoba mengucap namanya.
“Ini Ibu, apa kamu baik- baik saja?” cemasnya.
Aku mencoba menggerakkan badanku, rasanya seperti patah tulang seluruh badan. Sebenarnya berapa lama aku tertidur? Bahkan, aku sudah lupa kejadian yang menimpaku sebelum aku tertidur pulas sekali.
“Bu, kenapa kakiku sakit sekali?” tanyaku.
                “Ikhlaskan ya, sayang,” ucap Ibu, ia melihatku dengan penuh rasa iba.
            Aku membuka selimut yang menutupi kakiku dan melihatnya, air mataku sudah berdesak- desakan ingin keluar , karena aku tidak sanggup menahannya lagi.
            “Apa ini tebusan atas perlakuanku terhadap Lydia? Jika ia aku ikhlas menerimanya. Walaupun aku gagal mencapai cita- citaku,” renungku.
            “Aku ikhlas Bu, mungkin ini balasan Tuhan karena perlakuanku yang sangat tidak baik di hari-hari akhir Lydia hidup,”
            “Ibu tahu isi hati kamu sebenarnya, tapi kamu cukup besar dengan gengsi. Ibu juga tahu kamu sangat sayang pada Lydia,” ucap Ibu sembari memelukku.
            Aku mengangguk pelan, dan menyesal dengan perlakuanku dulu, aku ingin bersama Lydia. Aku kesepian tanpannya, sayangnya itu sudah terlambat.
“Aku selalu bersama kakak, tepatnya disini. Di hati kakak,”



0 comments:

Posting Komentar