No Problem, Friend.



“Gelak tawa dan kebersamaan ini telah terjadi sejak dulu, sejak kita masih kanak-kanak. Kita adalah sahabat, kita tlah seperti saudara, begitu dekat, dan mengerti satu sama lain. Tapi sekarang sudah berubah, kau tak perduli denganku dan orang- orang disekelilingmu.”
Itulah kata-kata yang Iqlima tulis di buku diary nya, ia sungguh merasa kehilangan seorang sahabat yang suka menemani hari- harinya. Sekarang sahabatnya itu suka menyendiri, ia tahu Sasya, sahabatnya sekarang sudah mengenal dunia maya, beda dengan dirinya yang belum mengenal sama sekali apa itu dunia maya. Kadang, Iqlima diolok-olok karena “KUDET” tapi ia pintar dalam hal pelajaran lho!
            Besok, Iqlima berulang tahun yang ke 13 tahun. Menurutnya itu masa remajanya yang pertama dan ia berharap dapat ditemani pada hari specialnya itu dengan Sasya. Setelah belajar, Iqlima tidak tidur sampai larut malam, ia berharap diberi ucapan ulang tahun pada jam 00.00 oleh Sasya melalui handphone jadulnya.
            TRING!!
            Mata Iqlima yang tadinya sayu-sayu kembali bersemangat melihat pesan masuk. Ternyata dari Kakaknya yang tinggal di Palembang. Iqlima membalasnya dan kemudian masuk kedalam selimut yang tebal dengan perasaan sedih.
            KRING!! KRING!! Jam weker membangunkannya dari tidur yang nyenyak.
            “Baiklah, aku akan bangun,” ucapnya sambil mematikan bunyi weker.
Iqlima menyibak selimut dan berjalan mengambil handuk untuk segera mandi dengan malas. Setelah itu, berganti baju dan menyiapkan buku yang akan dibawa ke sekolah, kemudian beranjak ke dapur mencari sosok Emak.
“Pagi Mak…. , ” sapanya pada Emak yang tengah asik memasak.
“Haduh anak Emak… Janjinya gimana?” Emak langsung nagih janji yang tidak Iqlima mengerti.
“Janji apa ya Mak?” tanyanya masih antara sadar dan tak sadar,  mata Iqlima memang masih ingin terpejam rasanya.
“Shalat subuh nok…. . , ” Abah mencubit hidungnya yang tak begitu mancung.
“Hehe…, ” hanya mampu nyengir kuda.
“Besok lagi kalo enggak shalat subuh… Hm… Emak siram pake air se-baskom, ” tambah emak sambil menyajikan makanan yang sudah matang ke atas meja makan.
“Aduh, Emak sama Abah pasti lupa ini hari apa?” tanyanya memberi kedipan sebelah mata.
“Iya lah, ini kan hari ulang tahun kamu,” seru Abah dengan entengnya.
Emak dari dalam membawa bingkisan besar, “Ini untuk kamu sayang, jadi anak sholehah ya,” Emak mengecup Iqlima dengan kasih sayang.
“Iya, makasih ya. Emak sama Abah udah ngrawat Iqlima sampai besar,”
“Ya, sama- sama. Sana gih, berangkat,” Abah mendorongku keluar pintu rumah.
Iqlima berpamitan kepada Emak dan Bapak untuk berangkat sekolah. Ia segera mengambil sepeda dan mengayuh sepeda sambil memperhatikan lingkungan sekitar. Lalu lalang orang-orang yang hendak mengais rezeki terlihat berjubel ketika portal rel kereta api diturunkan, hati Iqlima mulai tak tenang.
“Ya Allah… semoga aku tak terjebak langsir kereta api…,” Bisiknya lirih.
Tut… tit… tut… tit… semua orang tampak tenang menghadap ke arah depan. Orang-orang di sekitar tampak rapi menata pemberhentian kenderaannya. Meski jalanan padat, tapi ia cukup tenang melihatnya, semoga tidak ada adegan saling dorong atau suara tlakson yang bersahut-sahutan. Iqlima paling tidak suka jika mendengar suara tlakson dibunyikan dari sana sini, bising sekali dan itu menunjukkan bahwa orang-orangnya tidak tertib dan tidak sabaran.
Sebuah kereta dari arah selatan lewat di depan . Alhamdulillah, suasana aman terkendali, semua kekhawatirannya tidak terjadi. Iqlima kembali mengayuh sepeda dan tak berapa lama kemudian, ia pun sampai di depan pintu gerbang sekolah tercinta. Iqlima menaruh sepeda di parkiran dan segera masuk ke kelas.
“Hai, Sya,” tegur Iqlima
Senyum tipis Sasya yang hanya di dapatkan Iqlima pada hari istimewanya. Tapi ia berbaik sangka, mungkin Sasya lupa atau semacamya.
 Jam pelajaran dimulai, biasanya ia dan Sasya mengobrol apa saja, tapi Sasya lebih memilih mengobrol dengan segerombolan anak perempuan yang aktif di dunia maya. Menurutku, SmartPhone baru Sasya menjerumuskannya ke dalam dunia yang membuatnya enggan berkomunikasi dengan sahabatnya sendiri, termasuk aku. Ya, dia membahas apa saja berita- berita terbaru, entah masalah Idol, Game dan semacamnya. Iqlima yang tidak tahu menahu hanya dapat melongo. Nilai Sasya juga akhir- akhir ini menurun, Sasya peringkat ke dua setelah Iqlima. Sewaktu Ulangan Harian, Sasya tidak pernah mendapat nilai 70, baru kali ini ia melihatnya mendapat nilai dibawah KKM. Sebenarnya, Ia ingin membicarakan hal itu bersama Sasya, tapi Iqlima takut dibilang mencampuri urusan Sasya.
“Hmm.. Sya, baru kali ini kamu mendapat nilai 70,” ucapnya ragu- ragu
“Hiks.. Maafkan aku Iqlima, aku menjauhimu karena kamu tidak update di dunia maya, nilaiku juga menurun akibat terlalu update sampai tidak belajar untuk ulangan,” isaknya.
“Aku tahu kamu tidak seburuk yang aku bayangkan, kamu hanya ikut- ikutan saja kan agar tidak di cap kudet di kelas?” tanya Iqlima.
“Aku malu mengakuinya, ini hadiah untukmu yang seharusnya diberikan kemarin. Maafkan aku,” Sasya menyodorkan bingkisan cantik.
“Terimakasih, aku kira kamu lupa dengan ulang tahunku. Kita masih bersahabatkan?” tanyanya dengan bersemangat.
“Tentu,” Sasya memelukku erat.



0 comments:

Posting Komentar